Latest News

ASWAJA - Sejarah, Pengertian dan Akidahnya

Sebenarnya jikalau berbicara mengenai aswaja, akan menyita banyak ruang lingkup pembahasan, dikarenakan harus mempertimbangkan dari segala aspek. Agar tidak melilit dalam corak yang rumit, penulis mencoba untuk membatasi diri dalam pembahasannya hanya dalam dua domain, yakni pertama sejarah aswaja dan yang kedua yaitu akidah.

SEJARAH ASWAJA (Ahlussunnah wal jama'ah)
Jika berbicara mengenai sejarah aswaja, maka kita akan berbicara wacana kesimpangsiuran, ketumpangtindihan dan tikungan-tikungan yang terjadi pasca meninggalnya Nabi Muhammad Saw (12 juni 632 M).

Hal ini bermula dari perebutan kekuasaan (bersifat politis) hingga nantinya akan beralih pada persoalan-persoalan teologis (akidah).

Ketika Sayyidina Ustman RA maju ke atas pentas perpolitikan untuk menggantikan pemimpin sebelumnya, yakni Sayyidina Umar RA suasana menjadi sedikit buram, karena gubernur-gubernur yang dipilih eksklusif oleh sayyidina Umar yang dikenal dengan gubernur yang bijaksana itu dengab terpaksa dipecatnya dan digantikan dari pihak keluarga Sayyidina Ustman dikarenakan desakan-desakan dari pihak keluarganya yang tak terelakkan.

Akibatnya Sayyidina Ustman dinilai sebagai pemimpin yang nepotisme, bahkan sering kali tuduhan-tuduhan bahwa Sayyidina ialah koruptor serta suka menghambur-hamburkan uang negara demi keluarganya juga datang ke beliau, alhasil demonstrasi yang kurang lebih dihadiri oleh 500 orang umat islam pun terjadi.

Dari situlah kemudian pembunuhan terhadap Sayyidina Ustman terjadi. Inilah pertumpahan darah pertama kali yang terjadi dikalangan umat islam.

Pasca Sayyidina Ustman meninggal, Sayyidina Ali KW eksis sebagai pengganti dari pendahulunya untuk menduduki bangku kepemimpinan. Pada ketika itu situasi politik sudah terlanjur keruh, buktinya tidak sedikit dari umat islam pada ketika itu yang menolak bahkan membenci Sayyidina Ali KW, sehingga Sayyidina Ali KW berhadapan eksklusif dengan dua kubu sekaligus.

  1. Pertama yakni kubu Thalhah dan zubair yang di motori oleh Sayyidah Aisyah dan 
  2. yang ke dua yaitu Sayyidina Mu'awiyah. Kedua kubu tersebut bahwa mencurigai Sayyidina Ali membela bahkan setidaknya menutupi orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Sayyidina Ustman. Dari perseteruan antara kubu Sayyidina Ali dan Thalhah dan Zubair yang dimotori Sayyidah Aisyah terjadilah perang jamal (unta).
Sedangkan perseteruan antara Sayyidina Ali dan Sayyidina Mu'awiyah terjadilah perang Shiffin. Dalam pada itu, dengan kamuflase dan spekulasi dari Amr ibn Al-Ash (tangan kanan Mu'awiyah) yang mencari jalan keluar menggunakan siasat berdamai dengan menganggkat Al-Qur'an di ujung tombak, alhasil secara aklamasi disepakati adanya tahkim atau arbitrase.

Dari fenomena tersebut nantinya timbullah beberapa firqoh (sekte) yakni khawarij, syi'ah, mu'tazilah dan mujassimah.
 
AKIDAH
Secara etimologi, keyakinan disesuaikan dari kata 'aqada-ya'qidu yang artinya berjanji, mengadakan perjanjian untuk mempercayai adanya Tuhan dan beberapa objek yang dijadikan sebagai rukun iman di dalam islam. Disatu sisi grade keyakinan setara dengan "dogma", tapI di sisi lain keyakinan bukan lantas sepenuhnya bersifat dogatis dan tidak rasional.

Pertanyaannya ialah bagaimana kita mengimani sesuatu tanpa adanya pengetahuan wacana objek yang kita imani?. Maka dalam hal ini penggalian pengetahuan menjadi penting.

Selain dilandasi oleh pengetahuan, keyakinan yang berimplikasi pada iman juga harus bergandengan dengan perbuatan (amal) sebagai indikator dari iman tersebut. Sebagaimana yang tertulis di Al-Qur'an:

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan bersedekah saleh, bagi mereka ialah surga Firdaus menjadi daerah tinggal." (QS. kahfi 18: 107-108)

Dengan kata lain iman dan amal (akidah dan syari'at) ibaray dua sisi dari uang logam yang tidak mungkin terpisahkan. Adapun jikalau dapat dipisahkan, ia tidak akan memiliki nilai apapun. Lantas bagaimana dengan keyakinan yang ada pada sekte-sekte islam?, berikut penjelasan yang akan penulis klasifikasi.
 

1. Aliran khawarij 
Pengertian Khawarij, Khawarij ialah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar. Dinamai demikian karena kelompok ini ialah orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib sebagai protes terhadap Ali yang menyetujui perdamaian dengan mengadakan arbitrase dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. 

Pendapat lain mengatakan bahwa khawarij berasal dari kata kharaja-khurujan didasarkan atas (Q.S. 4: 100)
(Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini daerah hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.

Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Yang Mahakuasa dan Rasul-Nya, kemudian simpulan hidup menimpanya (sebelum hingga ke daerah yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan ialah Yang Mahakuasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).

Kaum khawarij memandang diri mereka sebagai orang-orang yang keluar dari rumah semata-mata untuk berjuang di jalan Allah.

Dengan demikian khawarij ialah aliran (firqah) yang keluar dari jamaah (almufaraqah li al-jamaah) disebabkan ada perselisihan pendapat yang bertentangan dengan prinsip yang mereka yakini kebenarannya.

Selain nama khawarij, mereka juga memiliki semboyan, yakni (Tiada hukum kecuali hukum Allah) atau (Tidak ada pembuat hukum kecuali Allah). Berdasarkan alasan inilah mereka menolak keputusan Ali bin Abi Thalib. Menurut pendapat aliran ini yang berhak memutus perkara hanya Allah, bukan melalui arbitrase (tahkim).

2. Pemikiran Khawarij
Corak pemikiran khawarij dalam memahami nash (al-Qur’an dan hadits) cenderung tekstual dan parsial, sehingga dalam menetapkan suatu hukum terkesan dangkal dan sektarian. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi milli para penganut aliran khawarij yang lebih banyak didominasi berasal dari suku Baduwi yang rata-rata dalam kondisi kehidupan keras dan statis. Keimanan yang besar lengan berkuasa tanpa disertai wawasan keilmuan yang luas menjadikan fanatisme dan radikal, sehingga mudah memvonis bersalah terhadap setiap orang yang tidak sepaham dan sejalan dengan alirannya. Diantara pendapat aliran khawarij: 

a. Semua permasalahan harus diselesaikan dengan merujuk kepada hukum Yang Mahakuasa berdasarkan (Q.S.5 : 44)
(Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Yang Mahakuasa memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, karena mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Yang Mahakuasa dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku.

Dan janganlah kau jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.)

Dengan berpedoman pada ayat tersebut, maka Ali, Muawiyah dan semua orang yang terlibat dan menyetujui arbitrase (tahkim) dianggap telah kafir karena memutuskan masalah tidak merujuk kepada alQur’an. 

Menurut pandangan
aliran khawarij arbitrase tidak mempunyai dasar dalam al-Qur’an. Memang benar dan tepat bahwa umat Islam dalam segala acara hidup dan kehidupan termasuk memutuskan suatu permasalahan harus berdasarkan pada Al-Quran, akan tetapi di dalam aplikasinya tidak dibenarkan menggunakan al-Quran secara parsial dan sektarian sehingga mengaburkan pesan inti al-Quran, karena kandungan al-Quran itu ada yang mantuq (tekstual) dan ada yang mafhum (kontekstual), sehingga tidak begitu saja mudah memvonis bahwa sesuatu itu tidak ada dalam al-Quran sebagaimana faham khawarij di atas.

b. Orang Islam diluar aliran khawarij (non khawarij) dianggap sebagai musyrik atau kafir dan boleh untuk diperangi dan dibunuh. Akan tetapi hebat kitab yang meminta pemberian dari khawarij diperlakukan dengan baik hati.

Sekte-sekte Khawarij
Syaikh Abdul Abdul Qohir Al-Bagdadi menuliskan di dalam bukunya yang berjudul "al-Farq bain Al-Firaq" bahwa khawarij terpecah menjadi 20 sekte:
  1. Al-Azariqah
  2. Al-Najat
  3. Al-Ajaridah
  4. Al-Shufriyah
  5. Al-'Ibadiyah
  6. .Al-Khazamiyah
  7. Al-Su'aibiyah
  8. Al-Kalfiyah
  9. Al-Ma'lumiyah 
  10. Al-Saltiyah
  11. Al-Hamziyah
  12. Al-Tsabiyah
  13. Al-Ma'badiyah
  14. Al-Ahnasiyah
  15. Al-Saibiniyah
  16. Al-Rasyidiyah
  17. Al-Makramiyah
  18. Al-Hafsiyah
  19. Al-Haritsiyah
  20. 20.Al-Sababiyah

B.ALIRAN SYI'AH
Syi'ah ialah aliran yang mendukung bahkan mencintai Sayyidina Ali secara berlebihan. Aliran ini bangkit pada tahun 41 H pasca meninggalnya Sayyidina Ali. Paham Syi'ah pada umumnya banyak terpengaruh oleh unsur-unsur luar,  menyerupai pedoman yahudi dan zoroaster.

1. Paham Golongan Syi’ah
Adapun ajaran-ajaran dan pemahaman golongan Syi’ah secara umum ialah sebagai berikut:
  1. Sayyidina Ali tidak mati terbunuh, tetapi masih hidup, karena sewaktu akan dibunuh, dia diangkat ke langit menyerupai cerita Nabi Isa as, sedang yang mati terbunuh ialah orang yang diserupakan dengan Sayyidina Ali ra. 
  2. Dalam badan Sayyidina Ali bersemayam unsur ke-Tuhan-an yang telah bersatu padu dengan badan Sayyidina Ali ra. Karena itu dia mengetahui segala yang ghaib, dan selalu menang melawan dengan orang kafir. Suara petir ialah bunyi Sayyidina Ali dan kilat ialah senyuman Sayyidina Ali. 
  3. Teori reinkarnasi, yaitu bahwa ruh orang yang meninggal dunia itu dapat menitis kembali dalam jasad yang baru. 
  4. Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan ialah orang-orang yang terkutuk, karena ketiganya telah merampas jabatan ke-khalifahan dari tangan Ali bin Abi Thalib. Menurut mereka, orang yang berhak menjadi imam (khalifah) yang pertama ialah Ali bin Abi Thalib. 
  5. Iman atau khalifah itu masih mendapatkan wahyu dan juga ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa). Ini berlandaskan pada riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syi’ah, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Imam Ali a.s. terjaga dari setiap dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku. Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan ia ialah orang yang paling tahu wacana Islam. 
  6. Percaya pada “ar-raj’ah”, yaitu bahwa salah seorang imam (khalifah)-nya (Ali bin Abi Thalib) akan kembali ke dunia di simpulan jaman untuk menegakkan keadilan. Mereka menyamakan iman dengan nabi. 
  7. Percaya kepada Imam ialah salah satu rukun iman. 
  8. Mereka hanya mendapatkan hadist-hadist yang ada pada kitab Al-Kafi, karangan ulama Syi’ah yang berjulukan Al-kulini dan menolak hadist-hadist yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman, apalagi hadist-hadist yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat Nabi dari suku Bani Umayyah. Kitab Al-Kulini ini oleh merka dianggap sebagai kitab yang kedua sesudah Al-Qur’an.
C. ALIRAN MURJI'AH
Pada umunmnya kaum Murji’ah di golongkan menjadi dua golongan besar,yaitu Golongan Moderat dan golongan Ekstrim.
 
Golongan Moderat:
Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak awet dalam neraka.

Tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa yang kuasa akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali. Golongan Murji’ah yang moderat ini termasuk Al-Hasan Ibn Muhammad Ibn ’Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa hebat Hadits.

Menurut golongan ini, bahwa orang Islam yang berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam kekerabatan ini Abu Hanifah menunjukkan definisi iman sebagai berikut:
"Iman ialah pengetahuan dan legalisasi adanya Tuhan, Rasul-rasul-Nya dan wacana segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah dan berkurang, tidak ada perbedaan insan dalam hal iman."
Dengan gambaran serupa itu, maka iman semua orang Islam di anggap sama, tidak ada perbedaan antara iman orang Islamyang berdosa besar dan iman orang Islamyang patuh menjalankan perintah-perinyah Allah.

Jalan pikiran yang dikemukakan oleh Abu Hanifah itu dapat membawa kesimpulan bahwa perbuatan kurang penting dibandingkan dengan iman.

Golongan Murji’ah Ekstrim
Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ekstrim ialah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap kelompok ini dapat dijelaskan sebagi berikut:

Baca juga memahami prinsip aswaja

1. Kelompok Al-Jahmiyah
Adapun golongan Murji’ah ekstrim ialah Jahm bin Safwan dan pengikutnya disebut al-Jahmiah. Golongan ini berpendapat bahwa orang islam yang percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan dalam adegan badan insan tetapi dalam hati sanubari.

Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa orang yang telah menyatakan iman, meskipun menyembah berhala, melaksanakan ajaran-ajaran agama Yahudi degan menyembah berhala atau Nasrani degan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati, tidaklah menjadi kafir, melainkan tetap mukmin dalam pandangan Allah.

Dan orang yang demikian bagi Yang Mahakuasa merupakan mukmin yang tepat imannya. Di antara prinsip dasar pedoman Jahm bin Safwan ialah: 
  1. Surga dan neraka itu awet selamanya.
  2.  Keimanan itu mengenal Allah, sementara kekufuran ialah terbelakang atas-Nya  
  3. Perbuatan insan hakikatnya merupakan perbuatan Yang Mahakuasa sendiri.
2. Kelompok Ash-Shalihiyah
Bagi kelompok pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi iman ialah megetahui Tuhan dan Kufr ialah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian bahwa mereka sembahyang tidaklah ibadah kepada Allah, karena yang disebut ibadat ialah iman kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji.
 
3. Kelompok Al-Yunusiyah dan Kelompok Al-Ubaidiyah
Melontarkan pernyataan bahwa melaksanakan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan.

Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.

Kaum Yunusiyah yaitu pengikut-pengikut Yunus ibnu ’Aun an-Numairi berpendapat bahwa ”iman” itu ialah mengenai Allah, dan menundukkan diri padanya dan mencintainya sepenuh hati.

Apabila sifat-sifat tersebut sudah terkumpul pada diri seseorang, maka dia ialah mukmin.

Adapun sifat-sifat lainnya, menyerupai ”taat” misalnya, bukanlah termasuk iman, dan orang yang meninggalkan bukanlah iman, dan orang yang meninggalkan ketaatan tidak akan disiksa karenanya, asalkan saja imannya itu benar-benar murni dan keyakinannya itu betul- betul benar.

4. Kelompok Al-Hasaniyah
Kelompok ini mengatakan bahwa, ”saya tahu yang kuasa melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu ialah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin bukan kafir.

Begitu pula orang yang mengatakan ”saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau di daerah lain”, orang yang demikian juga tetap mukmin.

ASWAJA - Sejarah, Pengertian dan Akidahnya